![]() |
| Rapi, S.Pd., Gr - Guru SDN 4 Lepar (Foto Istimewa) |
Oleh: Rapi, S.Pd., Gr. - Guru SDN 4 Lepar
Indonesia kerap disebut sebagai
negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Namun, keislaman
Indonesia tidak sekadar soal angka statistik. Lebih dari itu, watak dan cara
Islam itu hidup di tengah masyarakat yang majemuk, berlapis budaya, serta sarat
sejarah. Dalam konteks inilah Islam Nusantara menemukan maknanya sebagai corak
keberislaman yang tumbuh dari dialog antara ajaran Islam dan realitas
sosial-budaya Nusantara.
Islam Nusantara bukanlah agama baru
dan bukan pula mazhab tandingan. Ia adalah cara berislam yang kontekstual, yang
berusaha mempraktikkan nilai-nilai universal Islam tanpa memutus akar kultural
masyarakat. KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berulang kali menegaskan bahwa
Islam datang untuk menanamkan nilai, bukan untuk menghapus tradisi. Selama
tidak bertentangan dengan prinsip tauhid dan akhlak, budaya justru dapat
menjadi medium dakwah yang efektif.
Sejarah penyebaran Islam di
Nusantara memperlihatkan hal tersebut. Para wali dan ulama terdahulu tidak
memaksakan ajaran dengan kekerasan, melainkan menyampaikannya melalui teladan
moral, pendekatan budaya, dan kearifan lokal. Hasilnya adalah Islam yang
mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat, sekaligus mampu hidup berdampingan
dengan keberagaman.
Dalam kajian akademik, Azyumardi
Azra menyebut fenomena ini sebagai indigenisasi Islam, yakni proses perjumpaan
kreatif antara ajaran Islam dan konteks sosial-budaya setempat tanpa
mengorbankan prinsip dasar syariat. Dari proses ini lahir wajah Islam yang
moderat, inklusif, dan adaptif. Islam Nusantara, dalam pengertian ini, bukan
sekadar identitas lokal, melainkan model keberislaman yang relevan dengan
masyarakat plural.
Karakter utama Islam Nusantara
adalah moderasi atau wasathiyah. Prinsip ini sejalan dengan konsep ummatan
wasathan dalam Al-Qur’an, yang menempatkan umat Islam sebagai komunitas yang
adil dan seimbang. Quraish Shihab menegaskan bahwa moderasi tidak berarti
melemahkan komitmen beragama, tetapi justru memperkuatnya dengan sikap
proporsional dalam memahami teks dan realitas. Islam Nusantara menerjemahkan
prinsip ini dalam kehidupan sosial yang menghargai perbedaan, menjunjung
musyawarah, dan menolak kekerasan atas nama agama.
![]() |
| Rapi, S.Pd., Gr - Guru SDN 4 Lepar (Foto Istimewa) |
Di tengah situasi global yang ditandai
oleh menguatnya politik identitas dan radikalisme keagamaan, Islam Nusantara
menjadi semakin relevan. Narasi keagamaan yang eksklusif dan hitam-putih
berpotensi merusak kohesi sosial serta menggerus rasa kebangsaan. Pada titik
ini, Islam Nusantara menawarkan jalan tengah. Tetap teguh pada ajaran Islam,
namun terbuka terhadap dialog dan keberagaman.
Tantangan terbesar ke depan adalah
bagaimana nilai-nilai Islam Nusantara diwariskan kepada generasi muda.
Pendidikan agama tidak cukup hanya menekankan hafalan teks dan simbol formal,
tetapi perlu menumbuhkan kepekaan etis, nalar kritis, dan tanggung jawab
sosial. Dakwah, terutama di ruang digital, juga harus diisi dengan narasi Islam
yang mencerahkan, bukan yang menghasut dan menghakimi.
Nurcholish Madjid mengingatkan
bahwa Islam seharusnya menjadi sumber etika publik yang membebaskan dan
memanusiakan. Pesan ini relevan untuk konteks Indonesia hari ini. Keislaman
yang matang bukan diukur dari seberapa keras klaim kebenaran disuarakan,
melainkan dari seberapa besar manfaatnya bagi kehidupan bersama.
Islam Nusantara, dengan seluruh
kekhasannya, merupakan ikhtiar menjaga masa depan keislaman Indonesia. Ia
menunjukkan bahwa menjadi Muslim yang taat tidak harus menanggalkan
keindonesiaan, dan menjadi warga bangsa yang baik tidak mengurangi kualitas
keimanan. Di tengah dunia yang kian terpolarisasi, pengalaman Indonesia melalui
Islam Nusantara layak dibaca sebagai kontribusi penting bagi peradaban Islam
global, Islam yang kukuh dalam prinsip, bijak dalam pendekatan, dan berakar
kuat pada nilai kemanusiaan.(*)
.png)

0 Komentar