![]() |
| Dokumentasi Penulis (Foto Istimewa) |
Oleh: Rapi Pradipta
Di balai
desa setiap sore, wajah Daris selalu tampak paling ramah. Senyumnya lebar,
seakan seluruh persoalan dunia bisa larut dalam lengkungan bibirnya. Tangannya
tak pernah lupa terjulur, kata-katanya manis bak gula tebu yang baru diperas. Daris
pandai bicara, pandai menenangkan, pandai pula membuat orang percaya bahwa ia
adalah lelaki paling tulus di seantero kampung.
Namun,
siapa sangka? Di balik senyum lebar itu, Daris sebenarnya seorang aktor
kawakan. Topengnya lebih berkilau dari pada sepatu pejabat yang baru disemir.
Ia memiliki koleksi topeng lengkap. Topeng ramah, topeng bijak, topeng
pahlawan, bahkan topeng penuh iba yang bisa meneteskan air mata dalam tiga
detik saja.
“Warga
jangan khawatir,” ucapnya suatu sore sambil menepuk dada, “jalan becek ini akan
segera diperbaiki. Percayakan pada saya. Besok truk material akan datang.”
Warga
bersorak lega. Padahal, besok yang datang justru hujan deras, mengguyur
lubang-lubang jalan hingga berubah menjadi kolam kecil.
Pernah
pula ia berkata, “Dana untuk perbaikan mushala sudah cair, tinggal menunggu
tukang!” Tapi sebulan berlalu, mushala tetap bocor, jamaah tetap basah, hanya
Daris yang makin lihai mengalihkan cerita. “Tukangnya mendadak dapat proyek
besar, kasihan kalau saya paksa.”
Di warung
kopi, warga sering bercanda.
“Kalau
Daris bilang ‘besok’, artinya bulan depan.”
“Kalau
Daris bilang ‘sudah siap’, artinya belum mulai.”
![]() |
| Dokumentasi Penulis (Foto Istimewa) |
“Tapi
kalau Daris senyum, hati-hati, bisa-bisa kita lupa kalau dompet kosong.”
Semua
tertawa. Tapi tawa itu adalah tawa getir, tawa yang menertawakan nasib
sekaligus kepolosan mereka sendiri.
Meski
begitu, ada juga yang masih percaya. Terutama ibu-ibu yang mudah luluh oleh
senyuman Daris. “Ya, namanya juga pemimpin, pasti banyak ujian. Sabar saja.
Lagi pula Daris itu sopan sama orang tua.”
Sementara
anak-anak muda kadang berbisik, “Kalau jadi aktor, pasti Daris sudah dapat
piala citra.”
Malam
hari, setelah semua pertunjukan selesai, Daris duduk di depan cermin kecil
kamarnya. Satu per satu topeng itu ia lepaskan. Senyum palsu, tatapan
meyakinkan, gaya berwibawa, semua lenyap. Yang tersisa hanyalah wajah biasa.
Wajah seorang lelaki yang sering lupa siapa dirinya sendiri.
Ia
menghela napas panjang.
“Kalau
terus begini, aku sendiri tidak tahu… apa aku ini pemimpin, badut, atau sekadar
tukang jual janji?”
Namun
esok pagi, topeng itu kembali ia kenakan. Di balai desa ia sudah bersiap dengan
senyum khasnya.
Kali ini,
warga menatapnya dengan wajah setengah jenuh. Seorang bapak tiba-tiba bersuara
lantang, “Mang Daris, kapan mushala kita selesai? Jangan-jangan anak saya sudah
khatam Al-Qur’an duluan baru atapnya terpasang.”
Suasana
riuh. Ada yang menahan tawa, ada yang bersorak mendukung. Daris tergagap
sejenak, lalu cepat-cepat memasang topengnya.
“Bapak
tenang saja. Tukangnya sudah otw. Kalau besok belum mulai, saya sendiri yang
pasang gentengnya!”
Sorak-sorai
kembali pecah, tapi kali ini disertai tawa lebar, bukan tawa percaya, melainkan
tawa mengejek. Warga tahu, janji Daris hanya sekadar kata-kata.
Dan
Daris? Ia tersenyum lebih lebar lagi, seolah tak ada yang bisa menembus lapisan
topengnya. Padahal di balik senyum itu, hatinya perlahan retak.
![]() |
| Dokumentasi Penulis (Foto Istimewa) |
Karena
sesungguhnya, topeng yang terlalu lama dipakai, lama-lama melekat. Dan Daris
mulai takut, kalau suatu hari nanti, ia benar-benar tak bisa lagi menemukan
wajah aslinya.
Hari itu
balai desa penuh sesak. Warga berkumpul, bukan untuk rapat biasa, melainkan
untuk “sidang rakyat kecil.” Di tengah ruangan, Daris duduk dengan senyum
khasnya, senyum yang dulu membuat banyak orang percaya, tapi kini mulai hambar.
Seorang
ibu berdiri, suaranya tegas, “Mang Daris, uang iuran untuk perbaikan jalan
kemarin ke mana? Katanya sudah dibelikan semen. Mana semennya?”
Belum
sempat Daris membuka mulut, seorang pemuda menyahut, “Jangan tanya semen, Bu.
Listrik pos ronda saja masih mati. Katanya sudah diperbaiki, padahal lampunya
masih ngedip kayak kunang-kunang.”
Gelak
tawa meledak. Daris kaku, tapi buru-buru memasang topengnya lagi.
“Tenang,
tenang. Semua sudah dalam proses. Kita hanya perlu sabar”
Namun tiba-tiba,
seorang kakek maju ke depan. Wajahnya keriput, matanya tajam. Ia mengangkat
sebuah benda kecil: topeng kertas yang dicat dengan senyum lebar.
“Kami
sudah tahu, Daris. Kau hanya pandai bicara. Semua janji tinggal janji. Topengmu
sudah terlalu lama menipu.”
Ruangan
hening. Semua mata tertuju pada Daris. Untuk pertama kalinya, ia kehilangan
kata-kata. Senyum itu tak lagi bisa terpasang. Tangannya gemetar, seolah
topeng-topeng yang ia kenakan selama ini runtuh sekaligus.
Dan tawa
pun pecah, bukan lagi tawa ramah, melainkan tawa lepas, tawa orang-orang yang
akhirnya sadar bahwa mereka terlalu lama diperdaya.
Sejak
hari itu, nama Daris tak lagi dipanggil dengan hormat. Anak-anak kecil suka
mengejek dengan lagu sindiran, “Pak Topeng… Pak Topeng…” sambil berlari-lari.
Daris
berjalan melewati jalan desa dengan kepala tertunduk. Untuk pertama kalinya ia
benar-benar merasakan beratnya wajah sendiri, wajah yang sudah lama hilang di
balik topeng.



0 Komentar