Pagi itu sinar matahari menyelinap masuk di sela-sela tabir kamar Andi. Andi terbangun dan merapikan tempat tidur sembari sambil menguap. Dari luar kamar terlihat kepulan asap yang menyelimuti rumah Andi, kepulan asap itu berasal dari arah dapur tempat Nenek Andi memasak. Aktifitas yang biasa dilakukan oleh Nenek Andi di tiap paginya. Andi pun berjalan menuju ke arah dapur untuk mencuci mukanya yang terbangun dari tidur semalam. Nenek Andi pun memanggilnya, sudah bangun cuk, nanti jangan lupa makan dulu ya, tanya nenek kepada Andi, baik Nek.
Sambil memegang sodet sendok menggoreng ikan seraya Nenek berkata “cuk, kamu makan yang banyak ya, kamu hari ini jangan kemana-mana dulu, diluar juga sudah mulai mendung”. Jawab Andi, “baik nek”.
Dari arah luar rumah terdengar suara kawan-kawan Andi memanggilnya, “Andi, andi, andi ayo main bola mumpung hari ini hari libur”.
Si Andi pun lekas-lekas untuk menyelesaikan makannya. Andi ini dikenal sebagai anak yang penurut dan baik kepada Nenek nya, namun pada saat itu kawan-kawan Andi sesudah bermain bola mereka mengajak untuk memancing di sungai Antan yang terkenal dengan banyak ikan dan udangnya. Andi pun tergiur dengan ajakan itu. Disamping itu sungai Antan terkenal memiliki penuggu yang ganas, yaitu bauya-buaya buas.
Tapi bagi Andi dan kawan-kawan tidak menghiraukan hal itu karena rasa penasaran dan iming-iming untuk mendapatkan hasil yang memuaskan, agar bisa menyantap udang dan ikan yang segar dari sungai Antan.
Andi dan kawan-kawan pergi bersama-sama menaiki sepeda dan tidak lupa membawa pancing dan umpan nasi sisa semalam yang dibawakan oleh kawan-kawan Andi.
Langit yang terlihat sedikit mulai keabu-abuan disertai dengan air sungai yang tak tenang seperti memberi isyarat akan cuaca yang kurang bersahabat, namun mereka tetap melanjutkan perjalanan untuk memancing ke arah tengah sungai itu.
Andi dan kawan-kawan menaiki sampan yang berada di bibir sungai, yang sengaja diparkirkan oleh masyarakat sekitar untuk pergi menangkap ikan. Memang biasanya masyarakat sekitar sebagian besar mencari dan menangkap ikan di sungai Antan menggunakan sampan-sampan yang sengaja di parkir dibibir sungai Antan.
Giliran Andi menaiki sampan, terbesit di benaknya bayangan wajah Nenek yang melarangnya untuk pergi kemana-mana dan tetap berada di rumah saja. Kaki kanan Andi pun bergetar menyentuh papan sampan itu.
Kawan-kawan Andi pun mulai mengayuh sampannya, saraya mereka berkata “cari spot yang ada kayu besar tumbang biasanya banyak udang-udang dan ikan berada disitu”.
Di sepanjang perjalanan mereka melihat monyet-monyet yang bergelantungan, dan dengan riangnya kawanan monyet seolah-olah mereka menyambut akan kedatangan Andi dan kawan-kawan.
Setiba di tempat spot yang mereka inginkan, mereka berebut untuk melempar umpan ke air sambil berkata “disini pasti banyak udangnya”, jawab salah satu kawannya, hati-hati nanti kamu dapat kepala buaya.
Semua terdiam hening ketika mereka mendengar celetukan ucapan itu “ssssstttt, jangan ngomong begitulah, aku jadi takut kalau ngomong begitu”. Kaki Andi pun gemetar searasa lemas dan pucat, sebagian kawan-kawannya juga mulai panik dan pucat.
Setelah selang satu jam berlalu masih belum ada juga yang menyambar pancingnya, dua jam pun berlalu belum ada juga yang memakan umpannya, namun umpannya selalu habis entah mungkin dimakan oleh ikan-ikan kecil yang tidak kelihatan. Mereka pun mulai mengeluh 2 jam sudah berlalu namun belum satupun dari mereka yang mendapatkan sambaran ikan maupun udang.
Terlihat Andi dan kawan-kawannya mulai frustasi dan mengeluh yang belum kunjung dapat juga. Cuaca pun berubah menjadi gelap dan hujan gerimis dan membasahi baju Andi dan kawan-kawannya. Mereka masih tetap kekeh untuk berada di posisi itu. Satu jam pun berlalu.
Dari arah kejauhan Andi melihat sosok hitam yang besar, kawan-kawanya menoleh ke arah itu, dan terkagetnya mereka hal yang ditakuti mereka benar-benar menampakkan wujudnya. ‘iiiitttuuu buaya andi”, sambil menunjuk kearah hitam besar itu disertai dengan baju yang basah kuyup.
Andi berkata “bagaimana ini” dengan nada yang sangat ketakutan yang bercampur dengan dinginnya air hujan. Perlahan buaya itu pun mendekati sampan mereka sambil memperlihatkan pandangan yang begitu sinis dengan bola mata yang besar. Andi dan kawan-kawan terdiam pucat tanpa gerakan apapun. Buaya itu sedikit mengenai ekor sampan mereka seperti memberi ancaman kepada Andi dan kawan-kawan.
Buaya itupun tengelam, berselang 5 menit Andi dan kawan-kawan bergegas mengayuh sampannya dengan sepenuh tenaga mereka, ada yang sambil menangis terseduh-seduh karena takut dengan buaya itu. “sedikit lagi kita akan sampai” ucap kawan Andi sambil memberi semangat kepada kawan-kawan yang ketakutan.
Sekitar 20 menit mereka mengayuh sampannya dan akhirnya, “Alhamdulillah akhirnya kita sampai juga, terimakasih ya Allah engkau telah menyelematkan kami”, ucap Andi yang sambil menahan kedinginan di tengah-tengah hujan itu. Andi dan kawan-kawan pun lekas-lekas berlari menuju sepeda mereka, dengan baju yang sudah membasahi seluruh tubuh mereka, dengan sekeras tenaga mereka mengayuh sepedanya untuk menuju rumah masing-masing.
Andi dan kawan-kawan tiba dirumah dengan keadaan perasaan yang takut dan diselimuti dinginnya air hujan hari itu. Kemudian mereka menceritakan kepada orang tuanya tentang hal itu dan Andi yang memiliki rasa bersalah kepada Nenek nya yang tidak mendengar perkataannya saat itu.
Andi pun berterus terang dan meminta maaf kepada Nenek nya dengan tersendu-sendu menangis.
Semenjak kejadiaan itu Andi dan kawan-kawan tidak pernah lagi untuk balik ke sungai Antan, karena rasa takut yang mereka alami masih membekas di kala kejadiaan itu.
0 Komentar