![]() |
| Gamabr ilustrasi (Generated Gemini AI) |
Oleh: Rapi, S.Pd - Guru Pendidikan Agama Islam SD Negeri 4 Lepar, Bangka Selatan
Dalam keseharian sebagai seorang guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di Sekolah Dasar, penulis sering
berhadapan dengan wajah-wajah polos para siswa yang tampak kebingungan, bahkan
jenuh, ketika pelajaran dimulai. Ada yang bertanya secara langsung , ada pula
yang meyampaikan melalui raut wajah ataupun sikap yang yang enggan aktif dalam
pembelajaran. Satu kalimat yang kerap muncul adalah: “Pak, kenapa sih kita harus belajar ini?”
Pertanyaan sederhana itu mengandung makna yang sangat
dalam. Ia bukan sekadar protes anak-anak terhadap tugas atau hafalan, tetapi
refleksi dari kegagalan kita sebagai pendidik untuk membangun Kesadaran Belajar
yang bermakna. Dunia pendidikan saat ini tampaknya belum sepenuhnya berhasil
menjawab kegelisahan para siswa tentang makna belajar itu sendiri.
Sistem
pendidikan kita masih banyak menekankan pada aspek kognitif yang menumpuk,
dengan beban kurikulum yang sering kali belum sepenuhnya kontekstual dengan
kehidupan anak. Pelajaran demi pelajaran ditumpuk dari pagi hingga siang,
sementara ruang refleksi, diskusi, dan penanaman makna nyaris tersisih.
Ahmad Tafsir, dalam bukunya Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (1994), menekankan bahwa
tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang mengenal dan mencintai
Tuhannya, mengenal dirinya, serta mampu berbuat baik kepada sesama. Namun,
ketika pelajaran agama dipersempit pada hafalan dan aturan formal semata,
anak-anak kehilangan ruh dari pelajaran itu sendiri.
Ketidakterhubungan antara Pelajaran dan Realita Anak
John
Dewey, seorang filsuf pendidikan Amerika, mengatakan bahwa “pendidikan bukanlah
persiapan untuk hidup, melainkan kehidupan itu sendiri.” Maka, ketika pelajaran
tidak lagi terasa relevan dengan dunia nyata anak, tidak heran jika mereka
kehilangan minat. Mereka tidak melihat kaitan antara materi dengan kehidupan sehari-hari.
![]() |
| Gamabr ilustrasi (Generated Gemini AI) |
Dalam konteks pelajaran agama, misalnya, jika ajaran
tentang kejujuran, kasih sayang, atau tolong-menolong hanya disampaikan sebagai
teori, anak-anak tidak akan memahami bahwa nilai-nilai itu sebenarnya sedang
mereka praktikkan ketika membantu teman, menghargai guru, atau berbagi makanan.
Membangun Pembelajaran Bermakna
Psikolog
pendidikan Lev Vygotsky menekankan pentingnya scaffolding,
bimbingan bertahap dari guru untuk membantu siswa
membangun pengetahuan berdasarkan pengalaman yang mereka miliki. Dalam konteks
ini, guru harus mampu mengaitkan materi dengan kehidupan anak-anak sehari-hari.
Sebagai guru PAI, saya mulai mencoba mengubah pendekatan.
Ketika mengajarkan tentang makna syukur, saya mengajak siswa berjalan-jalan ke
halaman sekolah dan mengamati ciptaan Allah. Saat berbicara tentang
tolong-menolong, saya minta mereka menceritakan pengalaman membantu teman atau
orang tua. Pembelajaran tidak lagi di kelas saja, tetapi juga di hati dan
pengalaman.
Anak-anak
kita tidak kekurangan kecerdasan, tetapi mereka haus makna. Mereka butuh alasan
untuk belajar, bukan sekadar karena "nanti ada ujian." Kita, sebagai
guru, ditantang untuk menjawab pertanyaan mereka bukan dengan amarah, tetapi
dengan pendekatan yang memanusiakan.
Dalam Kurikulum
Merdeka, sebenarnya ada ruang untuk pembelajaran kontekstual dan
berdiferensiasi. Namun, perubahan tidak akan terjadi jika kita hanya mengganti
silabus tanpa mengubah cara pandang.
![]() |
| Gamabr ilustrasi (Generated Gemini AI) |
Pendidikan adalah proses yang berakar pada hubungan. Ketika
guru mampu membangun relasi yang hangat, membangkitkan rasa ingin tahu, dan
menghadirkan makna dalam setiap pelajaran, maka anak-anak akan belajar bukan
karena terpaksa, tapi karena merasa butuh.
Kegelisahan siswa adalah cermin
bagi kita semua. Barangkali yang harus kita perbaiki bukan hanya apa yang diajarkan, tapi bagaimana dan mengapa kita mengajarkannya. Maka, pertanyaan "kenapa saya
harus belajar ini?" bukanlah bentuk pembangkangan, tapi sinyal agar kita,
para pendidik, menata kembali arah pendidikan agar lebih manusiawi dan
bermakna.

0 Komentar